MAKALAH
Diajukan guna memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN AGAMA
Dosen Pengampu: Soni Samsu Rizal, S.Pd.I., M.Pd.I
Disusun Oleh :
Adenia Putri Hendrayanti
12.07.0358
Bambang Maulana Sudera
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN GURU
MADRASAH IBTIDAIYAH( PGMI )
INSTITUT AGAMA ISLAM
DARUSSALAM ( IAID )
CIAMIS – JAWA BARAT
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan adalah serangkaian perubahan
progresif yang terjadi akibat dari proses kematangan dan pengalaman, seperti
dikatakan oleh Van den Dalk, perkembangan berarti perubahan secara kualitatif.
Ini berarti perkembangan bukan hanya sekedar perubahan beberapa sentimeter pada
tinggi badan seseorang atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu
proses integrasi dari banyak struktur dan fungsi yang kompleks.
Dewasa ini, sudah jarang ditemukannya remaja
yang benar-benar peduli terhadap pentingnya beragama. Kesibukan dunia sudah
mulai membuat banyak orang tua mengabaikan tugasnya sebagai pendidik di rumah.
Banyak anak-anak tidak mendapatkan pendidikan di rumah terlebih pendidikan dan
pengetahuan tentang agama semenjak kecil yang berpengaruh pada perkembangan
agama di masa selanjutnya. Makalah ini akan membahas perkembangan agama dan
betapa pentingnya beragama.
1.2 Rumusan Masalah
1. Perkembangan agama,
2. Perkembangan agama pada masa anak-anak,
3. Sifat agama pada anak,
4. Tahap perkembangan beragama pada anak,
5. Faktor yang mempengaruhi perkembangan agama,
6. Upaya optimalisasi perkembangan agama pada
anak.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Perkembangan Agama,
2. Mengetahui Perkembangan Agama pada Masa Anak-anak,
3. Mengetahui Sifat Agama pada Anak,
4. Mengetahui Tahap Perkembangan Beragama pada Anak,
5. Mengetahui Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Agama,
6. Mengetahui Upaya Optimalisasi Perkembangan
Agama pada Anak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Agama
Perkembangan
jiwa beragama pada anak juga mengikuti aspek perkembangan jiwa yang lainnya.
Pada umumnya, pembahasan tentang perkembangan jiwa terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu masa anak-anak, masa remaja, dan masa dewasa. Zakiah Daradjat
mengklasifikasikan perkembangan jiwa pada masa anak-anak dimulai dari umur 2-12
tahun. Manusia mempunyai kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani, keduanyapun
harus seimbang sehingga dalam kehidupan jiwanya tidak mengalami tekanan. Zakiah
Daradjat mengemukakan ada enam unsur kebutuhan dalam diri manusia (1990:
76-98), yaitu:
1. Kebutuhan akan rasa kasih sayang,
2. Kebutuhan akan rasa aman,
3. Kebutuhan akan rasa harga diri,
4. Kebutuhan akan rasa bebas,
5. Kebutuhan akan rasa sukses, dan
6. Kebutuhan akan rasa ingin tahu.
Gabungan dari keenam kebutuhan tersebut
menyebabkan orang memeluk agama. Melalui agama, kebutuhan-kebutuhan tersebut
dapat disalurkan dan dengan melaksanakan ajaran agama secara baik, maka
kebutuhan akan rasa aman, rasa kasih sayang dan sebagainya, akan dapat
terpenuhi.
Thomas mengungkapkan teori The Four Wishes
(1969) menyatakan terdapat empat macam keinginan dasar yang ada dalam jiwa dan
inilah yang menjadi sumber jiwa beragama, yaitu:
1. Keinginan untuk keselamatan,
2. Keinginan untuk mendapat penghargaan,
3. Keinginan untuk ditanggapi,
4. Keinginan untuk mendapat pengalaman yang baru.
Sementara G. M.
Straton (1993) mengemukakan teori konflik. Menurutnya, jiwa beragama adalah
bersumber pada adanya konflik dalam kejiwaan manusia. Jika konflik yang sudah
demikian mencekam manusia akan mempengaruhi kehidupan jiwanya, manusia akan
berusaha mencari pertolongan pada sesuatu kekuasaan yang tertinggi (Tuhan).
2.2 Perkembangan Agama pada Masa Anak-anak
Masa anak-anak adalah masa dimana seorang anak belum
berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B.
Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu:
1. 0-2 tahun (masa vital),
2. 2-6 tahun (masa kanak-kanak),
3. 6-12 tahun (masa sekolah).
Menurut para
ahli, anak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan dan baru berfungsi
kemudian setelah melalui bimbingan dan latihan sesuai dengan tahap perkembangan
jiwanya. Faktor esensial yang mempengaruhi perkembangan jiwa beragama adalah
keinginan. Seperti halnya yang telah dikemukan oleh Thomas, bahwa manusia
dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan, yaitu:
1. Keinginan untuk keselamatan,
2. Keinginan untuk mendapat penghargaan,
3. Keinginan untuk ditanggapi,
4. Keinginan untuk mendapat pengalaman yang baru.
Berdasarkan
pada kenyataan dan gabungan dari keempat keinginan tersebut, maka sejak
dilahirkan manusia hidp dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman
yang diterima dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada
diri anak. Sementara Woodwort berpendapat bahwa bayi dilahirkan telah memiliki
beberapa insting, di antaranya adalah insting keagamaan. Belum terlihatnya
tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang
kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna.
Pendapat ini
mendapat sanggahan dari beberapa ahli dengan mengemukakan argumentasi sebagai
berikut: jika anak telah memiliki insting keagamaan, mengapa orang tidak secara
otomatis ketika mendengar lonceng gereja atau panggilan azan. Di samping itu,
mengapa terdapat perbedaan agama di dunia ini, bukankah cara berenang itik dan
cara beragama membuat seseorang yang didasarkan pada tingkah laku instingtif
akan sama caranya di setiap penjuru dunia?
Untuk menjawab
sanggahan tersebut dapat diajukan hadits Rasulullah SAW:
كل مولود يولدعلى الفطرة فاباه يهودانه
اوينصرانه او يما جسا نه
Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka (hendak)
dijadikan yahudi, nasrani atau majusi?” Fitrah dalam hadits tersebut tidak diartikan dengan
insting tapi diartikan sebagai potensi. Jika anak dibiarkan saja tanpa didikan
agama dan hidup dalam tidak beragama, ia akhirnya akan menjadi dewasa tanpa
agama.
Anak mengenal
Tuhan pertama kali melalui bahasa, dari kata-kata orang yang ada dalam lingkungannya
yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada awalnya merupakan
nama sesuatu yang asing dan belum pernah dikenalnya serta diragukan kebaikan
niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap Tuhan pada tahap pertama ini
dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya ke sana, baik
pengalaman yang menyenangkan maupun pengalaman yang menyusahkan. Namun, setelah
ia menyaksikan reaksi orang-orang di sekelilingnya yang disertai oleh emosi
atau perasaan tertentu, yang makin lama makin meluas, maka mulailah
perhatiannya terhadap kata Tuhan itu tumbuh.
Menurut teori
Freud, Tuhan bagi anak tidak lain adalah orang tua yang diproyeksikan. Jadi
‘Tuhan’ pertama anak adalah orang tuanya, dan biasanya terdiri dari ayah dan
ibu. Dari lingkungan yang penuh dengan kasih sayang yang diciptakan oleh orang
tua, maka lahirlah pengalaman keagamaan yang mendalam.
Perasaan si
anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran
dari bermacam-macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia
3 tahun, terbentuklah hubungan anak dengan ibunya, hubungan tidak lagi terbatas
pada kebutuhan akan bantuan fisik, tapi meningkat lagi pada hubungan emosional.
Ibu menjadi objek yang dicintai dan anak membutuhkan kasih sayangnya, takut
akan terjauh atau kehilangan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa bangga,
butuh, takut, san cinta padanya sekaligus. Dari sinilah kemudian timbul rasa
berdosa yang bukan disebabkan oleh kesalahan yang diperbuat tapi lebih
disebabkan keinginan untuk melakukan perbuatan yang terlarang. Dan untuk
menyelamatkan diri dari pertentangan bathin itu, si anak mengambil sifat-sifat
kepribadian bapak dan ibunya untuk dirinya.
Ayah atau bapak
dalam pandangan anak merupakan suatu pribadi ideal yang sangat sempurna yang
mempunyai kekuatan tidak terbatas. Pemikiran seperti inilah yang nantinya
membawa si anak pada pemikiran seolah-olah ayahnya Tuhan. Perubahan kepercayaan
dari ayah kepada Tuhan itu terjadi secara berangsur-angsur. Perubahan ini
diawali dengan rasa ragu akan kesempurnaan ayahnya karena anak merasa bahwa
ayahnya adalah pusat dari kehidupan ruhaninya. Hal ini akan mengguncangkan anak
dan biasanya terjadi pada usia 4 tahun. Dalam perkembangan jiwa keagamaan ini
lingkungan sangat berpengaruh pada anak untuk menerima pemikiran tentang Tuhan,
karena kepercayaan anak tumbuh melalui latihan dan didikan yang diterimanya
dalam lingkungan. Pada umumnya, kepercayaan tersebut berdasarkan konsepsi yang
nyata dan sejalan dengan pertumbuhan kecerdasannya.
Menurut Zakiah
Daradjat, sebelum usia 7 tahun, perasaan anak terhadap Tuhan pada dasarnya
negatif. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan,
sedangkan gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan
yang terus-menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa
ingin tahunya tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali
jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang
menyenangkan. Namun pada masa kedua (7 tahun ke atas) perasaaan si anak
terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi
oleh rasa percaya dan merasa aman.
2.3 Sifat Agama pada Anak
Agama pada anak
membawa ciri tersendiri dengan menampakkan pasang surut kognitif, afektif, dan
volisional (kemauan). Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami
sifat agama itu sendiri. Sifat agama anak mengikuti pola adeas concept on
authority, artinta konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor
luar diri mereka. Ketaatan mereka pada ajaran agama merupakan kebiasaaan yang
menjadi milik mereka, yang dipelajari dari orang tua atau guru mereka. Bagi
anak, sangatlah mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa, walaupun belum
mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.
Pengalaman awal
dan emosional orang tua dan orang dewasa merupakan dasar penentu hubungan
keagamaan di masa mendatang dibangun. Sifat keagamaan pad anak dapat dibagi
menjadi enam, di antaranya:
1. Unreflective (kurang mendalam/tanpa kritik)
Kebenaran yang
diterima anak tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja dan mereka merasa
puas dengan keterangan yang kadang-kadang masuk akal. Menurut penelitian,
pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan
perkembangan moral. Di usia ini pun anak yang kurang cerdas juga menunjukkan
pemikiran yang kreatif. Namun demikian, sebelum usia 12 tahun, anak mempunyai
ketajaman berpikir dalam menimbang pemikiran yang mereka terima dari orang
lain.
2. Egosentri
Sifat
egosentris didasarkan hasil penelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia
3-7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti
orang dewasa. Bagi anak, bahasa adalah menyangkut orang lain, tetapi lebih
merupakan monolog dan monolog kolektif, yaitu merupakan bahasa egosentris,
bukan sebagai sarana untuk mengkomunikasikan gagasan dan informasi, lebih-lebih
merupakan penyataan atau penegasan diri di hadapan orang lain. Demikian juga
dengan masalah keagamaan, anak lebih menonjolkan kepentingan dirinya dan lebih
menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Sebagai
contoh adalah tujuan do’a dan shalat yang mereka lakukan adalah untuk mencapai
keinginan pribadi.
Mereka meminta
sesuatu yang diinginkannya, meminta ampun atas segala kesalahannya dan minta
tolong atas segala yang tidak mampu ia capai atau lakukan. Dalam penelitian
tentang do’a pada anak usia 5-12 tahun. Spilka menyimpulkan bahwa usia 5-7
tahun anak secara samar menghubungkan do’a dengan Tuhan. Namun pengalaman do’a
tersebut tetap jelas dan tidak terinci.
Pada usia 7-9
tahun, do’a secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak-gerik
tertentu, tetapi amat kongkret dan pribadi. Pada usia 9-12 tahun, ide tentang
do’a sebagai teknik komunikasi antar anak dengan Tuhan mulai tampak. Setelah
itu barulah isi do’a beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang
tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
3. Anthromorphis
Konsep anak mengenai
ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Saat ia berhubungan dengan
orang lain, pertanyaan anak mengenai bagaimana dan mengapa biasanya
mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak
dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.
Tuhan memberi
ganjaran atau hukuman, misalnya, dengan cepat dimengerti oleh anak dan
dihubungkan dengan pengalaman mereka tentang orang tua yang memberi hadiah.
Hasil penelitian Praff, pada anak usia 6 tahun, Tuhan digambarkan seperti
manusia yang mempunyai wajah, telinganya besar dan lebar, Tuhan tidak makan,
hanya minum air embun, dan sebagainya.
Menurut Crapps,
anthromorphisme pada anak berperan sebagai wahana dan pelestari yang bisa
hilang karena kemampuan reflektif anak belum berkembang.
4. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama
pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal
secara verbal dengan kalimat-kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang
mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan
pada mereka. Shalat dan do’a yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung
gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
5. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada
dasarnya diproleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan
penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk
pengajaran, akan tetapi berupa teladan atau peragaan hidup yang nyata.
Apabila suatu keluarga jarang pergi ke tempat
ibadah, anaknya akan kurang aktif dalam soal-soal agama. Demikian pula dengan
anak yang hidup dalam keluarga yang menjalankan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari, maka perhatian anak pada agama akan kurang.
Pada masa selanjutnya, semakin bertambah
usianya, ia lebih senang berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Aktivitas
keagamaan di mesjid-mesjid atau tempat ibadah dan sekolah agama mungkin akan
menarik perhatian mereka. Biasanya anak-anak mau pergi ke pengajian jika
temannya juga pergi ke sana. Penghayatan agama di kalangan anak-anak sebenarnya
belum merupakan keseriusan, sebab tingkat perkembangan pikirannya baru pada
tingkat imitatif.
6. Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat
keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran
pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kgum pada keindahan lahiriah
saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai
dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru
agama mempunyai peranan sangat penting.
2.4 Tahap Perkembangan Beragama pada Anak
Sejalan dengan
kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga
bagian, sebagai berikut:
1. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini
anak-anak berumur 3-6 tahun konsep mengenai Tuhan banyak dipengaruhi oleh
fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama, anak masih menggunakan
konsep fantasi yang diikuti oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Cerita
nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng-dongeng. Menurut hasil
penelitian Dr. Hanni mengindikasikan bahwa kemampuan berpikir tentang konsep
agama pada anak sangat sedikit, kalau tidak dikatakan tidak ada artinya dan itu
hanyalah khyalan dari fantasi dan emosinya. Hal ini wajar karena konsep agama biasanya
cukp rumit dan mengatasi daya tangkap intelektual anak, sehingga jika terdapat
penerimaan atau penolakan si anak terhadap agama tentu bukan berdasarkan pada
pemahaman intelektual, tetapi ada alasan lain.
Pada usia ini,
perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama dari pada isi ajarannya.
Cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anaknya karena
sesuai dengan jiwa anak-anak dan mengungkapkan dengan cara sendiri, pernyataan
dan ungkapan tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi
penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Tahap ini
dimulai usia masuk sekolah (7 tahun ke atas), ide-ide tentang Tuhan telah
tercerminkan dalam konsep-konsep yang realistik dan biasanya muncul dari
lembaga agama atau pengajaran orang dewasa. Pada masa ini ide keagamaan anak
didasarkan atas emosinya. Berdasarkan hal ini anak mulai tertarik pada
lembaga-lembaga agama yang mereka lihat dan kerjakan oleh orang dewasa dalam
lingkungan mereka.
Pada tingkat
ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai ayah beralih pada Tuhan sebagai
pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah
pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika. Tuhan merupakan keharusan
untuk menerangkan sesuatu. Di samping itu terjadi peningkatan pemikiran. Tuhan
tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk alam semesta.
Pada tahap ini
terdapat satu hal yang perlu digarisbawahi anak dalam usia 7 tahun dipandang
sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi
pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan pukul bila
melanggarnya, sebagaimana hadits nabi:
قال رسول الله ص م : مرواابنا ئكم باالصلا ة لسبع سنين واضربو هم
عليها لعشر سنين و قر قوابينهم فى المضا جع الحد يث
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat
ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan
usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistik ini terbagi menjadi tiga
golongan berikut, di antaranya:
·
Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi
sebagian kecil fantasi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh luar.
·
Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandngan yang bersifat
personal (peorangan).
·
Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos
humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Perubahan ini
dalam setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan usia
dan faktor ekstern, berupa pengaruh luar yang dialaminya. Imam bawani membai
fase perkembangan agama pada masa anak-anak menjadi empat bagian, sebagai
berikut:
1. Fase Dalam Kandungan
Untuk memahami
perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan
dengan psikis ruhani. Meski demikian, perlu dicatat bahwa perkembangan agama
bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya
perjanjian manusia atas Tuhannya sebagaimana firman Allah SWT:
172. dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?"
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi".
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)”
2. Fase Bayi
Pada fase ini belum banyak diketahui perkembangan
beragama seorang anak. Namun isyarat
mengenalkan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadist, seperti anjuran memperdengarkan azan dan iqamat ketika
anak baru lahir.
3. Fase Kanak-Kanak
Masa ini
merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak
sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan
melalui ucapan-ucapan orang di sekelilingnya. Anak pada usia kanak-kanak belum
mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi di sinilah
peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan
tindakan-tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru. Tindakan demikian
sangat penting guna perkembangan agama pada masa selanjutnya.
4. Masa Anak Sekolah
Pada masa ini
perkembangan dan pengetahuannya tentang agama sudah mulai mendalam seiring
dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
2.5 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Agama
Seperti halnya
perkembangan aspek-aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga dipengaruhi oleh
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor eksternal tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Faktor Lingkungan Keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak. Oleh karena itu, kedudukan
keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah dominan. Dalam hal ini,
orang tua mempunyai peranan yang sangat penting dalam menumbuhkembangkan fitrah
beragama anak. Anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan kebiasaan berdoa
sebelum makan, diharuskan berdoa sebelum tidur, keluarganya sering membacakan
atau menceritakan cerita-cerita dalam kitab-kitab agama, cenderung mempunyai
minat yang lebih besar pada agama yang akan besar pengaruhnya pada perkembangan
jiwa tentang agama pada anak.
2. Faktor Teman Sejawat Atau Lingkungan Bermain
Saat anak
bertambah usia dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan anggota kelompok atau
teman sebaya, teman-teman ini akan mempengaruhi perkembangan agamanya. Seorang
anak yang mempunyai teman-teman yang suka berbincang-bincang mengenai agama dan
mematuhi aturan agama akan berpengaruh lebih besar pada perkembangan agama si
anak dibandingkan dengan anak yang teman-teman sepergaulannya tidak atau hampir
tidak menunjukkan minat pada agama dan mempunyai sikap negatif terhadap semua
aturan agama.
3. Faktor Lingkungan Sekolah
Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program sistematik dalam
menjalankan bimbingan, pengajaran, dan latihan kepada peserta didik agar mereka
berkembang sesuai dengan potensinya. Pengaruh sekolah terhadap perkembangan
kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan sustitusi dari keluarga
dan guru-guru adalah subsitusi dari orang tua. Dalam kaitannya dengan upaya
mengembangkan fitrah beragama para siswa maka sekolah terutama dalam hal ini
guru agama, mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan wawasan
pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak yang mulia dan sikap
apresiatif terhadap ajaran agama.
4. Faktor Perilaku atau Pribadi Orang Dewasa
Kualitas
perkembangan kesadaran beragama bagi anak sangat bergantung juga pada kualitas
perilaku atau pribadi orang dewasa. Kualitas perilaku orang dewasa yang
kondusif bagi perkembangan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kesadaran
beragama pada anak, misalnya:
a. Taat melaksanakan kewajiban agama seperti
ibadah,
b. Harmonis dlam menjalin persaudaraan,
c. Saling menolong dan bersikap jujur,
d. Menghindarkan diri dari sikap dan perilaku
yang dilarang agama seperti: sikap permusuhan, saling curiga, munafik,
mengambil hal orang lain (mencuri, korupsi, dll), dan perilaku maksiat lainnya
(berzina, berjudi, dan minim minuman keras).
2.6
Upaya Optimalisasi Perkembangan Agama pada Anak
Pembinaan jiwa agama pada anak menjadi
tanggung jawab semua pihak menuju terciptanya kematangan beragama si anak di
kemudian hari. Ciri-ciri kematangan beragama seseorang menurut Yusuf (2006),
adalah:
1. Kesadaran bahwa setiap perilakunya tidak
terlepas dari pengawasan Allah,
2. Mengamalkan ibadah ritual secara ikhlas,
3. Menerima romantika kehidupan dengan ikhlas,
4. Bersyukur dengan pembuktian bila mendapatkan
anugerah,
5. Bersabar pada saat mendapatkan musibah,
6. Menjalin ukhuwah Islamiyah,
7. Mengamalkan amar makruf dan nahi mungkar.
Untuk mencapai
kematangan seperti yang disebutkan di atas, beberapa upaya dapat dilakukan,
khususnya di lingkungan sekolah. Upaya tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Guru agama dituntut untuk memiliki karakteristik yang menunjang peningkatan
minat agama para siswa, seperti:
a. Kepribadian yang mantap (akhlak mulia)
seperti: jujur, bertanggung jawab, berkomitmen terhadap tugas, disiplin dalam
bekerja, kreatif, dan respek terhadap siswa,
b. Menguasai disiplin ilmu dalam bidang studi
agama Islam, memiliki pemahaman yang memadai tentang bidang studi yang diajarkan,
c. Memahami ilmu-ilmu lain yang relevan atau
menunjang kemampuannya dalam mengelola proses pembelajaran.
2.
Kepedulian kepala sekolah, guru-guru, dan staf sekolah lainnya
terhadap pelaksanaan pendidikan agama
(penanaman nilai-nilai agama) di sekolah, baik melalui pemberian contoh dalam
bertutur kata, berperilaku dan berpakaian yang sesuai dengan ajaran Islam. Yang
tidak kalah pentingnya lagi adalah upaya guru bidang studi umum menyisipkan
nilai-nilai agama dalam bidang studi yang diajarkannya.
3.
Tersediannya sarana ibadah yang memadai dan memfungsikannya secara optimal.
4. Terselenggaranya kegiatan akstra kurikuler
kerohanian bagi para siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara
rutin.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkembangan agama pada masa anak-anak terdiri dari tiga
tahap, yaitu:
· 0-2
tahun (masa vital),
· 2 -6
tahun (masa kanak-kanak),
· 6-12
tahun (masa sekolah).
Manusia mempunyai kebutuhan yang berdampak
pada kejiwaannya. Terdapat enam unsur kebutuhan sebagaimana yang diungkapkan
oleh Zakiah Daradjat (1990: 76-98), yaitu kebutuhan akan rasa kasih sayang,
rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, rasa sukses, dan rasa ingin tahu. Ada
pula keinginan dasar yang menjadi sumber jiwa beragama yang diungkapkan oleh
Thomas (1969), yaitu keinginan untuk keselamatan, mendapat penghargaan, untuk
ditanggapi, dan memiliki pengetahuan yang baru. Setiap anak wajib menerima
pengajaran agama sejak dini. Sehingga ke depannya terwujud generasi yang
beragama agar tidak ada lagi manusia yang dewasa tanpa agama.
3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kita
mengetahui perkembangan agama pada anak-anak sehingga mampu menerapkan pada
kehidupan sehari-hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun pada
khususnya dan pembaca pada umumnya.
.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elizabeth B.1990. Perkembangan
Anak, Jilid 2. Alih bahasa dr. Med. Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga.
Sumantri, Mulyani, dan Nana Syaodih. 2007. Perkembangan
Peserta Didik. Cet. XVII. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono. 1990. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Rineka
Cipta.
Yusuf, Samsyu. 2006. Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja. Bandung: Rosda Karya