BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas Hukum
Islam. Perceraian dalam istilah ahli Fiqh
disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan
membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari
berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Fiqh sebagai satu
istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri.
Perkataan talak dalam istilah ahli Fiqh
mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam arti
umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami,
yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau
perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak dalam
arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.
Karena salah satu bentuk dari perceraian
antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya
istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus.
Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan
perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki.
Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa
perceraian tetapi agama Islam tetap memandang
bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Perceraian ?
2. Apa Macam-macam Talaq ?
3. Baimana Hukum Talaq menurut para Ulama ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui tentang perceraian.
2.
Mengetahui tentang macam-macam
perceraian.
3.
Dapat mengetahui pandangan
hukum talaq menurut para ulama.
BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perceraian
Perceraian dalam istilah
ahli Fiqh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan
membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari
berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Fiqh sebagai satu
istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri. Perkataan
talak dalam istilah ahli Fiqh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti
yang khusus.
Salah satu bentuk perceraian adalah
cerai talak. Talak sendiri dapat dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya.
Talak sendiri dapat dilakkan suami kepada isterinya sebanyak satu, dua, sampai
tiga kali. Dalam al-Qur’an, Surat al-Baqarah ayat 229, Allah SWT berfirman yang
artinya “talak itu ada
dua kali, selanjutnya tahanlah secara baik atau ceraikanlah secara baik”. Dari Firman Allah SWT di atas,
dapat disimpulkan bahwa talaq yang di ucapkan suami kepada isterinya
boleh satu, dua, sampai tiga kali. Namun selaku catatan, talaq yang diucapkan
untuk ketiga kalinya tidak memungkinka lagi pihak keduanya untuk kembali
melakukan rujuk, karena talaq ketiga akan memutus total hubungan perkawinan
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.
Secara harfiyah Thalak itu
berarti lepas dan bebas. Dihubungkan dengan kata thalaq dalam arti kata ini
dengan putusnya perkawinan karena antara suami dengan istri sudah lepas
hubungannya atau masing-masing sudah bebas dari ikatan perkawinan yang mereka
sebelumnya jalani. Secara terminologi, banyak kalangan ulama yang mengemukakan
pengertian talak. Menurut Al-Mahalli dalam kitabnya Minhaj al-Thalibin (Amir
Syarifuddin, 2009: hal 198), mengemukakan, bahwa thalaq pada
dasarnya adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz thalaq dan
sejenisnya.
Rumusan di atas sebenarnya telah
mewakili rumusan pengertian thalaq dalam kitab-kitab fiqh. Dalam artian ini,
terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat perceraian yang bernama
thalaq, yakni: Pertama; kata “melepaskan” atau membuka atau
menanggalkan mengandung arti bahwa thalaq itu melepaskan sesuatu yang selama
ini telah terikat dengan erat yaitu ikatan perkawinan.Kedua; kata
“ikatan perkawinan” mengandun arti bahwa thalaq itu mengakhiri hubungan
perkawinan yang selama ini terjadi antara pasangan suami dan istri. Ketiga;
kata “dengan lafaz tha-la-qa dan sama maksudnya dengan itu”
mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui ucapan. Dan ucapan yang
digunakan adalah kata-kata thalaq tidak dengan: putus perkawinan bila tidak
dengan cara mengucapkan ucapan tersebut, seperti putus karena kematian
Talak dalam arti umum
berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang
ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau
perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak dalam arti khusus berarti perceraian
yang dijatuhkan oleh pihak suami. Karena salah
satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena
talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak
dalam arti yang khusus.
Meskipun Islam menyukai
terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh
dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan
tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan
dengan asas-asas Hukum Islam.
Putusnya
hubungan pernikahan pada dasarnya diakibatkan oleh adanya perceraian, baik
cerai kerena kematian maupun karena cerai hidup melalui 2 cara yakni; cerai
talak dan cerai gugat. Perceraian tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada
alasan-alasan kuat yang mendasarinya.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur putusnya
hubungan perkawinan sebagaimana berikut :
1.
Pasal
113 KHI, menyatakan perkawinan dapat putus karena:
1)
Kematian
2)
Perceraian
3)
Atas putusan pengadilan
2.
Pasal
115 KHI dan Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 / 1974 menyatakan, bahwa Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dantidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
3.
Pasal
114 KHI menegaskan, bahwa Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.
Sementara
itu alasan-alasan perceraian termuat dalam pasal 116 KHI dan pasal 39 ayat 1 UU
No. 1 / 1974, antara lain:
1)
Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2)
Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3)
Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4)
Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain.
5)
Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
6)
Antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7)
Suami
melanggar taklik talak.
8)
Peralihan
agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah
tangga.
Menurut Inpres RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI
macam-macam talak adalah sebagai berikut:
1.
Pasal 117 dalam KHI memuat talak adalah ikrar suami di
hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131
Kompilasi Hukum Islam;
2.
Pasal 118 dalam KHI memuat: Talak raj’i adalah
talak ke satu atau kedua, dalam talak ini suami berhak rujuk selama isteri
dalam masa iddah.
3.
Pasal 119 dalam KHI memuat : Talak ba’in shughra
adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas
suaminya meskipun dalam keadaan iddah. Talak ba’in shughra sebagaimana tersebut
pada ayat (1) adalah :1) Talak yang terjadi qabla ad-dukhul 2) Talak dengan
tebusan atau khuluk; 3) Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama.
4.
Pasal 120 dalam KHI menyatakan: Talak ba’in kubra
adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu
dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi
perceraian ba’da ad-dukhul dan habis masa iddahnya.
5.
Pasal 121 dalam KHI memuat : Talak sunni adalah
talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang
suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.
6.
Pasal 122 dalam KHI memuat : Talak bid’i adalah
talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam
keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu
suci tersebut.
7.
Pasal 123 dalam KHI memuat erceraian itu
terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang
pengadilan.
8.
Pasal 124 dalam KHI memuat : Khuluk harus
berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116 KHI.
B.
Macam-macam Talaq
Talak dapat dibagi kepada beberapa macam dengan melihat
kepada waktu menjatuhkannya, kemungkinan suami kembali isterinya, cara
menjatuhkannya, kondisi suami pada waktu mentalak, dan lain-lain. Di
antara macam-macam talak tersebut ialah sebagai berikut:
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak atau keadaan
isteri waktu talak itu diucapkan, talak dibedakan kepada:
1)
Talak Sunni
Dimaksud dengan talak sunni ialah
talak yang pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur'an dan sunnah. Untuk
dimasukkan ke dalam talak sunni diperlukan empat kriteria:
a)
Isteri sudah pernah dikumpuli. Apabila isteri pada waktu
ditalak belum pernah dikumpuli tidak termasuk ke dalam talak sunni
b)
Isteri segera melakukan iddah setelah ditalak. Di antara
tuntunan menjatuhkan talak, ialah dalam masa isteri yang ditalak
langsung memasuki masa iddah.
c)
Isteri yang ditalak dalam keadaan suci, baik di awal suci
atau di akhir suci. Oleh karenaitu apabila isteri ditalak dalam keadaan haid
atau nifas atau belum pernah haid atau sudah tidak haid lagi, tidak termasuk
talak sunni.
d)
Dalam masa suci pada waktu suami menjatuhkan talak isteri
tidak dicampuri. Apabila isteri dalam masa suci sebelum ditalak dicampuri lebih
dahulu oleh suami, tidak termasuk talak sunni.
2)
Talak Bid'iy yaitu talak
yang dijatuhkan tidak menurut tuntunan agama. Talak yang termasuk ke dalam
talak bid'iy ialah:
a)
Talak yang dijatuhkan pada waktu isteri sedang menjalani
haid atau sedang nifas.
b)
Talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan
suci tetapi telah dikumpuli lebih dahulu.
Talak bid'iy
dilarang karena memudaratkan isteri yaitu memperpanjang masa iddah.
Ditinjau dari kemungkinan suami merujuk
kembali isterinya atau tidak, talak dibagi kepada dua macam, yaitu:
1.
Talak raj'iy, yaitu talak
yang si suami diberi hak untuk kembali kepada isteri yang diatalaknya tanpa
harus melalui akad nikah yang baru, selama isteri masih dalam masa iddah. Talak
raj'iy tidak menghilangkan ikatan perkawinan sama sekali.Yang termasuk
ke dalam talak raj'iy ialah talak satu atau talak dua. Kebolehan ruju' dalam
talak satu atau talak dua sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, al-Baqarah
229:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Kata امساك بمعروف mengandung arti ruju' pada
waktu masih dalam masa iddah.
2. Talak ba'in
yaitu talak
yang tidak diberikan hak kepada suami untuk ruju' kepada isterinya. Apabila
suami ingin kembali kepada mantan isterinya, harus dilakukan dengan akad nikah
yang baru yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Talak ba'in ini
menghilangkan tali ikatan suami isteri.
Macam-macam
talak bai'in terbagi kepada:
a)
Ba'in sughra, yaitu talak
yang tidak memberikan hak ruju' kepada suami tetapi suami bisa menikah kembali
kepada isterinya dengan tidak disyaratkan isteri harus menikah dahulu dengan
laki-laki lain. Yang termasuk talak ba'in sughra ialah talak satu dan talak
dua.
b)
Ba'in kubra, yaitu talak
apabila suami ingin kembali kepada mantan isterinya, selain harus dilakukan
dengan akad nikah yang baru, disyaratkan isteri terlebih dahulu harus sudah
menikah dengan orang lain dan telah diceraikan. Yang termasuk talak ba'in kubra
ialah talak yang ketiga kalinya.
Adapun menurut
golongan asariyah talak terbagi dua yatu, talak sunnah dan talak bid’ah.
1.
Talak Sunnah
Dalam hal menalak istri, wajib mengikuti tuntunan Allah l dan
Rasul-Nya Yang disyariatkan dalam menalak istri adalah menalaknya selagi suci
yang belum digauli atau menalaknya ketika dia hamil.
Dalilnya adalah sebagai berikut.
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan
istri-istrimu, ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya.”
(ath-Thalaq: 1)
Maksud ayat ini adalah agar istri ditalak pada saat suci yang
belum digauli atau pada saat hamil sehingga mereka dapat langsung ber-‘iddah,
sebagaimana ditafsirkan pada hadits Ibnu ‘Umar berikut.
Hadits Ibnu ‘Umar menyebutkan bahwa ia menalak istrinya selagi
haid. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah .
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا, ثُمَّ لِيَتْرُكْهَا حَتَّى
تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ، ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ،
وإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِيْ أَمَرَ
اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.
“Perintahkan kepadanya agar merujuk istrinya kemudian membiarkannya bersamanya hingga suci, kemudian haid lagi, kemudian suci. Lantas setelah itu terserah kepadanya, ia mempertahankannya jika mau dan ia bisa menalaknya jika mau. Itulah ‘iddah yang Allah perintahkan agar para istri ditalak pada waktu mereka dapat langsung menghadapinya.” (Muttafaq ‘alaih)
“Perintahkan kepadanya agar merujuk istrinya kemudian membiarkannya bersamanya hingga suci, kemudian haid lagi, kemudian suci. Lantas setelah itu terserah kepadanya, ia mempertahankannya jika mau dan ia bisa menalaknya jika mau. Itulah ‘iddah yang Allah perintahkan agar para istri ditalak pada waktu mereka dapat langsung menghadapinya.” (Muttafaq ‘alaih)
“Perintahkanlah kepadanya agar merujuk istrinya,
kemudian menalaknya selagi suci atau hamil.”
Hadits ini menafsirkan ayat di atas. Artinya, istri yang ditalak
pada masa suci yang belum digauli akan langsung menghadapi ‘iddahnya hingga
tiga kali haid, sementara istri yang ditalak pada saat hamil akan langsung
menghadapi ‘iddahnya hingga dia melahirkan.
Maksudnya adalah setelah mandi suci, menurut pendapat yang rajih.
Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad, dirajihkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Hajar.
Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar riwayat an-Nasa’i yang artinya: “Perintahkan
Abdullah agar merujuk istrinya. Kemudian jika istrinya telah mandi, hendaklah
ia membiarkannya sampai haid. Kemudian jika istrinya telah mandi dari haid
berikutnya, janganlah ia menggaulinya sampai ia menalaknya. Jika ia ingin
mempertahankannya, hendaklah ia melakukannya. Itulah ‘iddah yang Allah
perintahkan agar para istri ditalak pada waktu mereka dapat langsung
menghadapinya.” (HR. an-Nasa’i, disahihkan oleh al-Albani)
Ibnu Taimiyah t menerangkan-sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa “Talak
yang dibolehkan syariat menurut kesepakatan ulama adalah menalak istri dengan
satu talak pada saat istri telah mandi suci dari haidnya sebelum digauli,
kemudian membiarkannya tanpa menyusulnya dengan talak berikutnya hingga
‘iddahnya berakhir. Talak seperti ini disebut talak sunnah (yakni sesuai dengan
tuntunan Nabi n).”
2.
Talak Bid’ah
Menalak istri selagi haid atau suci namun telah digauli, hukumnya
haram. Talak seperti ini dinamakan talak bid’ah, karena menyelisihi apa yang
disyariatkan Allah l dalam menalak istri.
Adapun mengenai penjelasannya sebagai berikut.
a)
Istri yang ditalak selagi haid maka haidnya yang
sekarang tidak dihitung sebagai ‘iddah. Artinya, dia akan melewati haid
tersebut hingga suci tanpa dihitung sebagai ‘iddah dan ini bermakna menalaknya
bukan pada saat istri langsung menghadapi ‘iddahnya. Hal ini berakibat
panjangnya masa penantian yang akan dijalaninya dan ini memudaratkan istri.
b)
Istri yang ditalak selagi suci yang telah digauli
berarti ditalak untuk menghadapi ‘iddah yang tidak meyakinkan. Hal ini karena
boleh jadi dia hamil sehingga ‘iddahnya adalah melahirkan, atau dia tidak hamil
sehingga ‘iddahnya adalah tiga kali haid. Benar, dia dapat langsung menghadapi
‘iddahnya salah satu dari dua kemungkinan tersebut, tetapi ‘iddah yang akan
dihadapinya tidak menentu.
Namun, menurut pendapat yang rajih, talak yang dijatuhkan dalam
kondisi ini sah sebagai talak yang dihitung atas pelakunya. Inilah pendapat
empat imam mazhab yang masyhur (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad),
al-Bukhari, dan jumhur (mayoritas) ulama, yang dirajihkan asy-Syaukani dalam
as-Sail al-Jarrar dan al-Albani.
Berbeda halnya dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim,
yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da’imah (yang diketuai
oleh Ibnu Baz) bahwa yang seperti ini tidak sah.
Ibnul Qayyim secara panjang lebar mendiskusikan dalil-dalil kedua belah pihak dalam Zadul Ma’ad yang akan membuat pembacanya condong kepadanya. Akan tetapi, al-Albani membantahnya dalam Irwa’ al-Ghalil dengan singkat dari segi ilmu hadits dan kandungan makna lafadz, yang menampakkan secara jelas bahwa yang benar talak tersebut sah.
Ibnul Qayyim secara panjang lebar mendiskusikan dalil-dalil kedua belah pihak dalam Zadul Ma’ad yang akan membuat pembacanya condong kepadanya. Akan tetapi, al-Albani membantahnya dalam Irwa’ al-Ghalil dengan singkat dari segi ilmu hadits dan kandungan makna lafadz, yang menampakkan secara jelas bahwa yang benar talak tersebut sah.
Ibnu ‘Umar agar menalak
istrinya saat suci maksudnya adalah suci dari haid, karena ia telah menalaknya
selagi haid.
Ibnu ‘Utsaimin menyatakan dalam Fath Dzil Jalal wal Ikram, pendapat ini lebih tampak kebenarannya. Sepertinya, inilah yang rajih (kuat), mengingat ‘illah (faktor) dilarangnya menalak istri selagi haid tidak ada pada istri yang ditalak selagi nifas.
Ibnu ‘Utsaimin menyatakan dalam Fath Dzil Jalal wal Ikram, pendapat ini lebih tampak kebenarannya. Sepertinya, inilah yang rajih (kuat), mengingat ‘illah (faktor) dilarangnya menalak istri selagi haid tidak ada pada istri yang ditalak selagi nifas.
C.
Hukum Talak
Talak mempunyai beberapa hukum
seperti dibawah ini:
1. Makruh
2. Haram, apabila talak di jatuhkan
oleh suami terhadap isteri dalam keadaan haidh, atau dalam keadaan suci setelah
isteri itu di campuri.
3. Sunnah, apabila suami sudah tidak
mampu lagi menunaikan tugasnya sebagai suami.
4. Wajib, apabila suami sudah
bersumpah dengan mengatakan ia tidak akan menggauli isterinya lagi atau karena
perselisihan antara suami isteri.
Dalam
peramasalan talak ada yang dinamakan Fasakh dan ada yang dinamakan Syiqaq:
a)
Fasakh
Adalah jatuh talak karena tuntutan
isteri kepada hakim (Pengadilan Agama) agar dijatuhkan cerai oleh hakim,
baik sebab kepergian maupun karena melanggar takliq talak, atau karena masuk
penjara. Di dalam buku nikah di Indonesia pada takliq talak dijelaskan bahwa
seorang wanita (isteri) boleh meminta fasakh (minta supaya diceraikan) oleh
pengadilan Agama apabila suami sewaktu-waktu :
v
Meninggalkan
isteri selama dua tahun berturut-turut.
v
Tidak
memberi nafkah wajib kepada isteri selama tiga bulan berturut-turut.
v
Menyakiti
badan atau jasmani isteri.
v
Membiarkan
atau tidak pedulikan isteri selama enam bulan berturut-turut.
Demikian agama Islam memberikan hak
fasakh kepada seorang wanita, jika dia tidak ridha karena :
1.
Membawa
madarat baginya dengan perpisahan itu.
2.
Akan
menjerumuskan dirinya kepada yang diharamkan Allah (antara lain berbuat
serong).
3.
Merasa
tergantung, terkatung-katung karena disia-siakan oleh suami.
b)
Syiqaq
Adalah perceraian terjadi karena
keretakan antara suami isteri. Sedangkan perceraian itu diputuskan oleh hakim
(Pengadilan Agama), setelah berusaha mencari perdamaian (islah) antara kedua
belah pihak (isteri dan suami) melalui utusan masing-masing. Namun demikian,
perdamaian itupun tidak kemungkinan diperdapat lagi. Sebab-sebab terjadi Syiqaq
antara lain sebagai berikut :
1.
Antara
suami isteri mempunyai watak, sehingga tidak dapat dipertemukan, dan
masing-masing mempertahankan wataknya dan tidak mau mengalah.
2.
Disebabkan
oleh suami, misanya perlakuan suami yang amat sewenang-wenang terhadap isteri,
hingga amat berat bagi isteri untuk dapat bertahan sebagai isteri.
Permasalahan
mengenai Bilangan talak ada tiga macam, yaitu: Talak Satu, talak dua, dan talak
tiga. Talak satu dan talak dua di sebut dengan talak pas’i, yaitu talak yang
terjadi antara suami dan isteri dan boleh rujuk ketika dalam masa iddah. Adapun
talak tiga yang terjadi antara suami dan isteri, maka tidak boleh mengadakan
rujuk di antara keduanya pada masa iddah. Jika keduanya ingin kembali bersatu
maka harus di lakukan dengan akad nikah yang baru dan telah di selang orang
lain.
Talak tiga meliputi tiga cara,
sebagai berikut:
1.
Suami
menjatuhkan talak sebanyak tiga kali pada waktu yang berbeda-beda.
2.
Seorang
suami menthlaq isterinya dengan talak satu, setelah habis masa iddahnya isteri
itu di nikahi kembali lagi, kemudian di talak lagi.
3.
Talak
tiga dengan cara suami mengatakan talak kepada isterinya dengan talak tiga pada
sati waktu.
Kalimat yang di pakai dalam talak
ada dua macam, yaitu:
1.
Sharih
(terang) yaitu kalimat yang tidak
di ragukan lagi bahasa yang dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan.
2.
Kinayah
(sindiran) yaitu kalimat yang masih
ragu-ragu boleh dikaitkan untuk perceraian nikh atau yang lainnya. Kalimat
sindiran ini tergantung pada niatnya, artinya kalau tidak di niatkan untuk
perceraian mak tidaklah jatuh talak.
Adapun
mengenai rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.
Masing-masing rukun tersebut harus memenuhi persyaratan. Syarat talak ada yang
disepakati oleh para ulama tetapi ada pula yang diperselisihkan.
Rukun
dan syarat talak tersebut sebagai berikut:
a.
Suami
Suami adalah yang memiliki hak
talak dan yang berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat
menghilangkan ikatan pernikahan, maka talak tidak akan terjadi kecuali setelah
adanya akad perkawinan yang sah.
“Tidak ada talak kecuali sesudah
akad nikah dan tidak ada pemerdekaan budak kecuali setelah ada
pemilikian".
Untuk
sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:
1)
Balig
Oleh karena talak itu perbuatan
hukum maka harus dilakukan oleh orang yang sudah balig. Tidak jatuh talak yang
dilakukan oleh orang yang belum balig. Persyaratan balig ini didasarkan kepada
sabda Nabi yang diriwayatkan oleh an-Nasai dari Aisyah:
"diangkatkan
hukum dari tiga golongan: orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia
dewasa, dan orang gila sampai ia berakal atau sehat".
2)
Berakal
Suami yang akalnya tidak sehat
tidak sah mentalak isterinya. Termasuk ke dalam pengertian tidak sehat
akalnya ialah orang yang gila, pingsan, sawan, tidur, mabuk karena
meminum khamr atau meminum sesuatu yang memabukkan dengan tidak sengaja atau ia
tidak mengetahui akibatnya. Adapun dasar hukum bahwa tidak sah talaknya orang
yang tidak sehat akalnya, di samping hadis yang disebutkan di atas (hadis rufi'a
al-qalamu) juga didasarkan kepada hadis:
"Diriwayatkan dari Abu
Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda setiap talak itu
hukumnya boleh kecuali talak orang yang hilang akalnya".
Adapun orang yang mentalak
isterinya dalam keadaan mabuk karena sengaja meminum minuman yang memabukkan,
sekalipun termasuk ke dalam kriteria orang yang hilang akalnya, tetapi
diperselisihkan oleh para ulama apakah talaknya sah atau tidak. Hal ini karena
orang tersebut dengan sengaja berbuat maksiat. Jumhur ulama berpendapat bahwa
talak orang yang mabuk itu jatuh atau sah. Alasannya karena sekalipun dari segi
bentuknya termasuk pada orang yang hilang akalnya akan tetapi hilang akalnya
itu disebabkan kesengajaan merusakkan akalnya dengan perbuatan yang dilarang
agama.
Menurut sebagian ulama termasuk
al-Muzanniy dari mazhab Syafi'iyah dan sebagian pengikut Hanafiyah berpendapat
bahwa talaknya itu tidak jatuh sekalipun ia sengaja berbuat sesuatu yang
menyebabkan dia mabuk. Alasannya karena orang yang mabuk itu sama keadaannya
dengan orang gila termasuk yang dikecualikan tidak sah talaknya
3)
Atas
kehendak sendiri
Untuk dihukumi sah talak yang
dijatuhkan suami ialah talak itu harus atas kemauan sendiri, artinya tidak
dipaksa dalam menjatuhkan talak. Oleh karena itu talak yang dijatuhkan oleh
suami yang dipaksa untuk mentalak isterinya, maka talaknya tidak jatuh. Hal ini
didasarkan kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi dari Ibnu Abbas
bahwa Rasulullah bersabda:
3. إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ
أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه الترمذى)
"Sesungguhnya
Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab dosa silap, lupa dan sesuatu yang
dipaksakan kepadanya".
4)
Isteri
Unsur
yang kedua dari talak ialah isteri. Untuk sahnya talak isteri harus dalam
kekuasaan suami, yaitu isteri tersebut belum pernah ditalak atau sudah
ditalak tetapi masih dalam masa iddah.
5)
Shigat
atau ucapan talak
yaitu
kata yang menunjukkan talak. Jumhur ulama berpendapat bahwa talak terjadi apabila
suami yang ingin mentalak isterinya itu mengucapkan ucapan tertentu yang
menyatakan bahwa isterinya ditalak. Apabila suami hanya berkeinginan atau
sekedar meniatkan tetapi belum mengucapkan apa-apa maka belum terjadi talak.
DAFTAR PUSTAKA
Diunduh pada hari Jum’at tanggal
14 Desember 2012 Jam 06.30
Diunduh pada hari
Jum’at tanggal 14 Desember 2012 Jam 012.30
Diunduh pada hari
Jum’at tanggal 14 Desember 2012 Jam 15.30
No comments:
Post a Comment